Mereka Menyuruhku Untuk Diam

Rahajeng Gunadi
3 min readNov 3, 2021

Mereka menyuruhku untuk diam, tapi aku tidak tinggal diam. Karena ada banyak cara untuk bicara, ada banyak cara untuk bergerak, juga bertindak.

“Quiet is the new loud”

Aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk menjadi pendiam. Jangan salah, aku suka menjadi pendiam, karena buatku, mendengar juga sangat menarik. Sejak kecil aku sudah memahami bahwa ada banyak cara dalam melakukan sesuatu. Bicara bisa dilakukan dengan kata, dengan tulisan, atau isyarat. Melihat dapat dilakukan dengan mata, dengan sentuhan, atau dengan perasaan.

Aku bersyukur ada banyak hal yang dapat kulakukan selama pandemi hampir dua tahun ini. Tahun lalu, aku mengikuti banyak kelas online, ikut kursus mempelajari bahasa baru, belajar coding, hingga digital marketing. Meskipun, masih ada saja yang menyuruhku untuk diam.

“Jangan terlalu nafsu untuk mencoba, nanti kamu kelelahan.”

“Buat apa menghabiskan uangmu untuk belajar ini itu, lebih baik ditabung untuk masa depan.”

“Sudah, fokus saja dengan pekerjaanmu, jangan terpecah dengan banyak kegiatan.”

Apa yang akan kamu lakukan jika kamu mendapati pertanyaan itu ditujukan buatmu?. Memang, kita tidak bisa memiliki kuasa apapun tentang bagaimana orang berfikir tentang kita, atau apa yang akan oranglain lakukan terhadap kita. Seperti yang Epictetus pernah katakan;

“happiness and freedom begin with a clear understanding of one principle: Some things are within our control, and some things are not”

Adalah wajar menghadapi kata-kata atau sikap orang lain dalam segala aspek langkah kita. Namun, bukan pada kata-kata mereka yang menjadi fokus utama. Kita tidak dapat mengendalikan apa yang oranglain pikirkan tentang kita, tetapi kita bisa mengendalikan bagaimana sikap kita terhadap orang lain.

Ini yang terjadi jika seorang yang pendiam diminta untuk diam…

Aku tidak tinggal diam, aku beraksi.

Tahun lalu aku mencentang mimpiku untuk menerbitkan buku. Sebuah buku Puisi berjudul Peluk Dekap Rengkuh (2020) yang terbit bertepatan dengan hari Anak. Tahun lalu aku bangga telah mempelajari banyak hal, yang beruntungnya dapat bermanfaat untukku. Aku juga mendonasikan penjualan buku tersebut untuk memberi buku bagi anak-anak yang membutuhkan.

Menyerahkan donasi buku untuk adik-adik

Itu semua dapat terwujud (selain bantuan doa) adalah karena aku tidak tinggal diam. Aku memang kewalahan karena harus kulakukan segalanya sendiri. Aku harus belajar banyak tentang membagi waktu dan menentukan skala prioritas dalam bekerja. Aku berkali-kali ingin menyerah tapi aku tidak juga menyerah.

Tahun lalu aku punya mimpi baru, 2021 aku harus punya dua small business yang berkembang. Tahun 2021 ini Etnicha Kombucha dan Trathe lahir, keduanya berkembang meskipun masih akan lebih besar lagi ke depannya. Aku pun membagi pekerjaan kantor dengan freelance sambil terus berlatih menulis, belajar, dan mengurus bisnis.

Etnicha kombucha yang lahir karena ikut kelas online kombucha tahun sebelumnya

Aku bersyukur, apa yang kukorbankan tahun sebelumnya untuk belajar sudah terlihat hasilnya.

Jika saja aku menurut untuk diam, fokus dengan pekerjaan saja, dengan sosial yang sudah ada saja. Semua itu tidak akan terwujud bahkan untuk sekedar berjalan….

Aku pun harus berterimakasih pada orang-orang yang melalui hal yang sama. Mereka yang memiliki lebih dari satu pekerjaan. Mereka yang masih semangat dan produktif mengejar mimpi. Mereka yang diam-diam berdedikasi untuk menolong orang lain. Mereka yang aktif menulis (karena aku saja kewalahan…). Mereka menginspirasiku untuk tidak diam… aku kagum dan itu menjadi bahan bakarku untuk terus bergerak…

Terimakasih, bahkan untuk yang telah menyuruhku diam. Sungguh terimakasih :)

--

--

Rahajeng Gunadi

Author, writer, entrepreneur. Poetry ‘Peluk, Dekap, Rengkuh (2020)’