Menanam Pohon Pelukan

Rahajeng Gunadi
3 min readFeb 20, 2023

Sebuah cerita yang belum terpublikasi sejak tahun 2021.

Photo by Marco Bianchetti on Unsplash

Mimpi apa yang paling indah buatmu?

Memimpikan surga atau bertemu orang tersayang? mimpi bisa membangun kota atau mengunjungi tempat paling indah? Bisa jadi itu juga mimpi yang sangat indah.

Namun pernahkah kamu mendapati mimpi yang saking indahnya dapat membuat kamu menangis karena terbangun di pagi harinya? Mimpi yang sangat indah dan membuatmu tersadar akan kehilangan. Mimpi yang pada akhirnya hanya bisa menjelma doa, dan harapan mimpi itu bisa kamu jumpai di kenyataan. Aku pernah.

Suatu malam didalam mimpi itu, aku berjalan di tengah padang rumput berbukit. Aku berjalan seperti tidak pernah mengenal arti lelah, meskipun jalannya naik turun, landai dan terjal, tapi rasanya lelah dan menyerah tidak pernah lahir ke bumi. Lalu aku terus berjalan ketempat itu, menuju sedikit cahaya yang menjulang diatas bukit sana.

Ada sebuah pohon rindang dan cukup besar diatas sana. Menjulang gagah bercahaya emas namun juga kebiruan. Kadang apapun warna yang kupikirkan bisa muncul dari berkas cahaya kemilau di pohon itu, seakan kemilaunya bisa membaca pikiranku.

Namun yang sangat membuatku bahagia adalah buahnya. Pohon itu berbuah pelukan. Lebat dan bergerumbul. Setiap kali buahnya dipetik, maka pemetiknya akan mendapat satu pelukan gratis. Harga yang mahal jika memang ada di dunia nyata.

Aku mencoba memetik buah yang paling ranum. Lalu buahnya berubah menjadi pelukan. Sulit dijelaskan bagaimana pelukan itu menjelma. Rasanya ada lega yang nyaman dan sekilas aku tidak merasakan tubuhku memiliki berat, ada hangat yang terasa dari wajah hingga pusar lalu menjalar ke punggung, ada suara detak jantung di telinga yang terdengar meskipun tidak ada siapapun di hadapanku. Dari rasaku, dunia seperti menjauh dan sayup, aku tidak tahu apakah sedang memijak bumi atau sedang menginjak langit. Lalu tanpa sadar aku tersenyum sampai air mataku mengalir.

Aku mencoba memetik buah yang lain, aku berniat memanen sebanyak-banyaknya. Aku mencari ke bawah akar, ke buah, ke daun, apapun yang sekiranya bisa kubawa pulang lalu akan kutanam dirumah. Aku menginginkan semuanya, menjadi petani pohon pelukan pun tidak apa-apa.

Namun pada saat hendak kupetik buah kedua, aku terbangun.

Rasanya seperti patah hati. Aku menangis sejadi-jadi.

Sejak saat itu cita-citaku bertambah satu, aku ingin dipeluk benar-benar kapanpun aku membutuhkannya.

Dulu seseorang memelukku tanpa melalui mimpi. Tangannya membelai rambutku hangat. Debarnya aku ingat, seperti sebuah lagu yang terus mengalun dalam kepala. Aku mencintai pelukannya. Sangat mencintai pelukan itu hingga aku bingung sendiri siapa yang lebih kucintai, dia atau peluknya?.

Namun seperti mimpi, dia pun hilang, entah kemana. Semenjak itu aku menambah satu doa setiap malam.

“Tuhan, aku ingin dipeluk benar-benar… kalau belum boleh Tuhan, izinkan aku memimpikan sebuah pelukan.”

Namun pelukan tidak kunjung datang, tidak di nyata, tidak di mimpi.

Semakin dewasa rasanya harga pelukan menjadi semakin langka. Sewaktu kecil kita mendapat banyak pelukan gratis bahkan tanpa diminta, namun hari ini tidak semua orang bisa memeluk begitu saja. Sementara semenjak saat itu, aku rasanya sudah candu, aku mengidamkannya tetapi juga sadar bahwa peluk tidak mudah didapatkan.

Aku membuat buku berjudul peluk dekap rengkuh, berharap itu menjelma buah pelukan seperti di mimpiku. Namun pelukan yang nyata dan utuh itu belum datang juga, maka aku hanya kembali berdoa;

“Tuhan yang Maha pemeluk…. beri aku satu hari ini. Yang utuh…” ujarku lagi. Tapi pelukan itu belum juga datang.

Tiap malam, aku membayangkan dapat menanam pohon pelukan. Aku merawatnya dan menjaganya hingga ia berbuah banyak. Aku panen setiap pagi, siang, sore, malam karena aku tidak pernah merasa cukup memeluk. Kadang sampai menangis karena aku benar ingin itu. Aku merasa sudah menunggu cukup lama untuk dipeluk namun belum juga tiba. Seminggu, sebulan, bahkan setahun setelahnya.

Entah berapa doa yang sudah kurapalkan agar peluk hadir hari itu. Namun tetap saja aku belum menemukannya. Rasanya mustahil tapi aku tidak mau menyerah. Hingga akhirnya aku kembali berdoa kepada Tuhan.

“Tuhan yang Maha Pemeluk… kirimkan aku satu manusiamu yang dapat memeluk erat dan utuh, yang sanggup mencintai dan kucintai karena Engkau Tuhan…”

Aamiinn.

--

--

Rahajeng Gunadi

Author, writer, entrepreneur. Poetry ‘Peluk, Dekap, Rengkuh (2020)’